Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

"Utsmani" atau "Ottoman"?

Sebagai kekuasaan negara lintas dua benua, Turki memang menjadi salah satu peradaban paling berpengaruh dalam sejarah dunia, terutama di kawasan Eurasia termasuk Timur Tengah. Dari pegunungan Balkan yang keras hingga padang pasir di Arab, dari wilayah Kaukasus yang dingin hingga pantai/pesisir Afrika Utara yang panas dan gersang, kekuasaan ini menjelma menjadi kekuatan militer, politik, budaya, dan agama yang luar biasa luas dan besarnya. Inilah yang kita kenal sebagai Kekaisaran Turki Utsmani. Ekspansi kekuasaan Utsmani [sumber: Encyclopaedia Brittanica] Namun dalam tulisan ini, saya tidak sekadar ingin mengagumi kebesaran Turki atau sekadar ikut-ikutan menyebut nama peradaban besar ini. Saya ingin membahas soal istilah yang sering muncul dalam berbagai percakapan dan konten media digital: "Utsmani" dan "Ottoman". Namun, dalam konteks kebahasaan Indonesia, saya merasa ada yang kurang pas. Bukan salah total, tapi tidak selaras. Bahasa Indonesia memiliki sistem fonol...

Jika Majapahit masih bertahan

Mungkin Anda pernah membayangkan: "bagaimana jika Majapahit tidak runtuh?" Sebuah pertanyaan yang menggelitik imajinasi dan membangkitkan rasa ingin tahu kita terhadap sejarah alternatif Nusantara. Kerajaan Majapahit, yang berkuasa dari abad ke-13 hingga ke-16, dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatera hingga Papua, bahkan menjangkau Semenanjung Malaya dan sebagian Filipina. Namun sayangnya, kejayaannya berakhir karena perebutan kekuasaan, pemberontakan daerah, dan tekanan dari kerajaan-kerajaan Islam yang sedang bangkit. Tapi mari kita bermain dengan imajinasi: " bagaimana jika Majapahit tidak runtuh?" 1. Nusantara Mungkin Menjadi Sebuah Bangsa dan Negara Lebih Awal Jika Majapahit mampu bertahan dan melewati konflik internalnya, kemungkinan besar wilayah Nusantara sudah mengalami penyatuan politik jauh sebelum penjajah Eropa datang. Kesatuan dan persatuan ini mungkin mencipta...

Jika Nusantara 'tidak dijajah'

Mungkin Anda mempertanyakan, mengapa saya membubuhkan tanda petik pada kata “tidak dijajah”? Sejatinya, kata “tidak dijajah” mengandung ironi. Sebab dalam sejarah panjang Nusantara, pertanyaan soal ‘penjajahan’ tidak sesederhana kedatangan bangsa Eropa. Penaklukan dan perebutan kekuasaan telah terjadi bahkan sebelum kedatangan bangsa Portugis ke Malaka atau VOC ke Batavia. Dalam skala regional, kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan, persekutuan politik, bahkan perbudakan. Maka dari itu, kata “tidak dijajah” harus dibaca secara kritis — siapa yang menjajah siapa? Dalam konteks global atau domestik? Namun, mari kita bermain dalam ruang spekulatif: bagaimana jika Nusantara tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa? Bagaimana jika Majapahit, sebagai kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Asia Tenggara, tidak runtuh pada abad ke-15 dan justru berhasil berevolusi menjadi kekuatan modern? Warisan Majapahit: Dari Imperium ke Bangsa dan...

Thailand tidak semaju Jepang dan Korea Selatan, Apakah suatu negara yang tidak dijajah menjadikannya lebih maju?

Dijajah atau tidak dijajah tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kemajuan suatu negara. Contohnya saja  Thailand yang tidak semaju Jepang dan Korea Selatan , bagaimana demikian? Perlu diketahui, wilayah Korea (kini Korea Utara dan Korea Selatan) pernah diduduki dan dijajah oleh bangsa tetangganya, yaitu Jepang pada abad ke-20. Hal berikut inilah yang menimbulkan munculnya berbagai cerita tentang para prajurit tentara Korea yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah para prajurit tentara Korea yang datang ke Indonesia saat Perang Dunia II sebagai anggota bala tentara Jepang. Penurunan Bendera Jepang di Keijo (kini Seoul) pada pasca Perang Dunia II, menandakan kemerdekaan Korea dari pendudukan dan penjajahan Jepang. (Sumber:  80-G-391464 Surrender of Japanese Forces in Southern Korea, S80-G-391464 Surrender of Japanese Forces in Southern Korea, September 1945 - NHHC ) Tidak pernah dijajah, membuat suatu negara menjadi maju? Sayangnya, pertanyaan ters...

Ego sektoral dan individualisme

Di dalam dunia kerja, politik pemerintahan, pendidikan, hingga kehidupan bermasyarakat, kita sering mendengar perkataan seperti: “Itu bukan urusan saya” , “Kami punya aturan sendiri” , atau “Kenapa saya harus peduli?” Perkataan-perkataan semacam ini adalah cerminan dari dua penyakit sosial yang diam-diam menggerogoti kemajuan bersama: ego sektoral dan individualisme berlebihan . Apa Itu Ego Sektoral? Ego sektoral terjadi ketika sebuah kelembagaan (institusi) merasa bahwa kepentingannya lebih penting daripada kerja sama lintas sektor dan lintas lembaga. Bukannya membuka diri terhadap kolaborasi, mereka justru membangun tembok birokrasi yang tinggi dan kaku. Contoh nyata: Instansi A tidak mau berbagi data dengan instansi B, meskipun data itu bisa membantu pelayanan publik. Dinas X mengklaim proyek tertentu sebagai “wilayah kekuasaan”-nya dan menolak bantuan atau masukan dari Dinas Y dan lembaga lainnya. Ego sektoral ini sering ditemukan di lingkungan birokrasi dan pemerinta...