Langsung ke konten utama

Jika Majapahit masih bertahan

Mungkin Anda pernah membayangkan: "bagaimana jika Majapahit tidak runtuh?"

Sebuah pertanyaan yang menggelitik imajinasi dan membangkitkan rasa ingin tahu kita terhadap sejarah alternatif Nusantara. Kerajaan Majapahit, yang berkuasa dari abad ke-13 hingga ke-16, dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatera hingga Papua, bahkan menjangkau Semenanjung Malaya dan sebagian Filipina. Namun sayangnya, kejayaannya berakhir karena perebutan kekuasaan, pemberontakan daerah, dan tekanan dari kerajaan-kerajaan Islam yang sedang bangkit.

Tapi mari kita bermain dengan imajinasi: "bagaimana jika Majapahit tidak runtuh?"


1. Nusantara Mungkin Menjadi Sebuah Bangsa dan Negara Lebih Awal

Jika Majapahit mampu bertahan dan melewati konflik internalnya, kemungkinan besar wilayah Nusantara sudah mengalami penyatuan politik jauh sebelum penjajah Eropa datang. Kesatuan dan persatuan ini mungkin menciptakan negara-bangsa yang kuat dan stabil sejak awal abad ke-16. Bayangkan, Indonesia sebagai kekuatan maritim yang solid sebelum Belanda, Portugis, atau Inggris sempat menjejakkan kaki secara permanen.

2. Bahasa dan Budaya Jawa-Kawi menjadi Bahasa Pengantar

Dalam dunia yang dikuasai Majapahit, kemungkinan besar bahasa Kawi atau bentuk awal bahasa Jawa halus akan menjadi bahasa resmi dan administratif seperti Latin di Eropa atau China Mandarin di Dataran China. Tulisan seperti aksara Jawa atau aksara Kawi bisa saja menjadi sistem tulisan utama di seluruh Nusantara. Budaya Jawa klasik – dari sastra, seni tari, gamelan, hingga sistem kepercayaan Hindu-Buddha – akan mengakar lebih kuat dan tersebar luas di seluruh Asia Tenggara.

3. Islamisasi Berjalan Lambat dan Terasimilasi

Salah satu faktor yang mempercepat keruntuhan Majapahit adalah gelombang Islamisasi yang datang melalui pelabuhan-pelabuhan dagang. Jika Majapahit tetap bertahan, kemungkinan besar Islam akan masuk lebih lambat atau akan lebih diserap secara kultural ke dalam struktur Majapahit, mirip dengan Hindu-Buddha sebelumnya. Maka, wajah Islam di Nusantara mungkin akan lebih bercorak sinkretik daripada yang kita kenal saat ini.

4. Majapahit Bisa Menjadi Pesaing Dinasti Besar di Asia

Dengan kekuatan militer laut yang besar dan letak geografis strategis, Majapahit bisa menjadi pesaing dinasti besar di Asia seperti Dinasti Ming (dan kemudian Dinasti Qing) di China, Mughal di India, atau bahkan Kesultanan Utsmani. Nusantara bisa jadi pusat perdagangan rempah dunia yang mandiri dan tidak perlu dijajah oleh bangsa Eropa.

5. Kolonialisme Mungkin Gagal Total

Salah satu alasan Belanda berhasil menjajah Indonesia adalah karena mereka memanfaatkan perpecahan antarkerajaan di Nusantara, lebih dikenal sebagai divide et impera (memecah belah dan menguasai). Jika Majapahit berhasil mempertahankan kesatuan, memperkuat angkatan laut, dan membangun diplomasi luar negeri yang kuat, mungkin bangsa Eropa tidak pernah berhasil menjajah kepulauan ini. Mereka akan menghadapi kerajaan kuat dengan administrasi yang terpusat, bukan kumpulan kerajaan kecil yang saling bermusuhan.

6. Ibu Kotanya di Trowulan, Bukan di Jakarta

Bayangkan jika ibu kota negara bukan Jakarta, melainkan Trowulan, pusat pemerintahan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Trowulan bisa saja berkembang seperti Kyoto di Jepang atau Beijing di China: kota kuno yang menjadi pusat kekuasaan dan budaya berabad-abad.

7. Teknologi dan Industri Bisa Berkembang Lebih Cepat

Dengan stabilitas politik dan kontrol atas jalur perdagangan internasional, Majapahit bisa mengembangkan teknologi maritim, pertanian, dan militer lebih awal. Siapa tahu, kapal jung buatan Majapahit bahkan kapal pinisi bisa bersaing dengan kapal layar Eropa di abad ke-17 atau 18.

8. Konsepsi Nusantara sebagai “Satu Bangsa” Lahir Lebih Awal

Sumpah Palapa Gajah Mada menunjukkan cikal bakal nasionalisme yang menakjubkan untuk ukuran zamannya. Jika ide ini berkembang, identitas “Nusantara” sebagai satu bangsa bisa terbentuk jauh sebelum ide “Indonesia” dicetuskan di awal abad ke-20. Maka, nasionalisme kita akan memiliki akar yang jauh lebih tua dan dalam.


Imajinasi yang Menginspirasi Masa Depan

Memang sejarah tidak bisa terulang dengan sendirinya, namun skenario seperti ini dapat menjadi bahan renungan dan inspirasi. Bahwa bangsa yang besar pernah berdiri di tanah ini, memimpin dan mempersatukan kepulauan yang luas. Jika Majapahit bisa, maka kita pun bisa—membangun kembali kejayaan Nusantara dalam bentuk yang lebih modern dan berdaulat: Indonesia.

Karena sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pondasi masa depan.


Apakah Anda juga pernah membayangkan kejayaan Majapahit bangkit kembali di era modern ini?
Mari kita lanjutkan diskusinya di kolom komentar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.