Sebagai kekuasaan negara lintas dua benua, Turki memang menjadi salah satu peradaban paling berpengaruh dalam sejarah dunia, terutama di kawasan Eurasia termasuk Timur Tengah. Dari pegunungan Balkan yang keras hingga padang pasir di Arab, dari wilayah Kaukasus yang dingin hingga pantai/pesisir Afrika Utara yang panas dan gersang, kekuasaan ini menjelma menjadi kekuatan militer, politik, budaya, dan agama yang luar biasa luas dan besarnya. Inilah yang kita kenal sebagai Kekaisaran Turki Utsmani.
Namun dalam tulisan ini, saya tidak sekadar ingin mengagumi kebesaran Turki atau sekadar ikut-ikutan menyebut nama peradaban besar ini. Saya ingin membahas soal istilah yang sering muncul dalam berbagai percakapan dan konten media digital: "Utsmani" dan "Ottoman".
Namun, dalam konteks kebahasaan Indonesia, saya merasa ada yang kurang pas. Bukan salah total, tapi tidak selaras. Bahasa Indonesia memiliki sistem fonologi dan ejaan yang cenderung fonetis—apa yang tertulis itu pula yang dibaca. Karena itu, saya lebih terbiasa menggunakan istilah "Utsmani", bukan "Ottoman", sebagaimana kita menyebut Saudi Arabia sebagai "Arab Saudi", Emirate sebagai "Emirat", atau Egypt sebagai "Mesir".
Jadi mengapa kita tidak menerapkan atau menggunakan konsistensi ini?
Mari kita telusuri secara etimologis. Nama "Ottoman" berasal dari ejaan yang dilatinkan terhadap nama pendiri dinasti: Osman Gazi. Dalam bahasa Arab, Osman ditulis sebagai 'Utsmān (عثمان), dan dalam Bahasa Turki Utsmani juga memiliki bentuk serupa. Dari sini, wajar jika dalam bahasa Indonesia, bentuk yang tepat adalah "Utsmani", yaitu penisbatan terhadap nama "Utsman", seperti dalam bentuk kata "Dinasti Utsmani" (عثمانية).
Dalam kaidah bahasa Indonesia sendiri, banyak istilah asing yang sudah disesuaikan, bukan sekadar diserap mentah-mentah dari bahasa Inggris. Maka penggunaan istilah "Ottoman" di dalam bahasa Indonesia sebenarnya terasa janggal. Apalagi jika sedang membahas sejarah Islam atau geopolitik dunia Islam, bukankah bentuk "Utsmani" lebih dekat dengan akar sejarah dan semangat kebahasaan kita?
Masalahnya adalah media. Mayoritas konten sejarah populer—dari dokumenter, siniar (podcast), hingga video YouTube dan TikTok—menggunakan bahasa Inggris atau merujuk sumber berbahasa Inggris. Akibatnya, istilah “Ottoman” lebih sering muncul dan secara tidak langsung membentuk kebiasaan baru dalam masyarakat Indonesia, meski itu sebenarnya tidak sesuai dengan struktur kebahasaan kita sendiri.
Coba tanyakan pada warganet biasa: lebih akrab mana, “Ottoman” atau “Utsmani”? Saya yakin sebagian besar akan mengatakan tidak familiar dengan “Ottoman” kecuali mereka terbiasa mengakses media asing, terutama berbahasa Inggris.
Bagi saya pribadi, penyebutan "Utsmani" terasa lebih alami dan logis. Konsisten dengan kebiasaan berbahasa kita dan selaras dengan pengetahuan sejarah Islam yang umumnya diajarkan di lingkungan pesantren, sekolah agama, atau madrasah.
Tentu saya tidak ingin terlalu memaksakan semua orang harus mengucapkan "Utsmani" seperti saya. Tapi menurut akal sehat atau logika kebahasaan, "Utsmani" itu lebih tepat jika digunakan dalam bahasa Indonesia. Tidak mengingkari bentuk kata, tidak menyimpang dari asalnya, dan tidak menciptakan kebingungan terminologi.
Saya percaya, bila kita kompak menggunakan istilah "Utsmani", maka akan lebih mudah menyatukan pemahaman sejarah kita. Bukan hanya soal nama, tapi soal konsistensi berbahasa dan kesadaran terhadap identitas linguistik kita. Jangan sampai hanya karena terpengaruh atau ikut-ikutan gaya ala media Barat, kita kehilangan pijakan dalam cara menyebut warisan sejarah peradaban sendiri.
Pada akhirnya, pilihan tetap di tangan masing-masing. Mau menyebut "Ottoman" atau "Utsmani" pun silakan. Tapi kalau Anda bertanya ke saya pribadi, saya akan selalu pakai "Turki Utsmani". Karena saya yakin, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga cermin pemikiran dan identitas.
Dan seperti halnya kita menyebut United States (U.S.) sebagai “Amerika Serikat” atau "A.S.", United Kingdom (U.K.) sebagai "Kerajaan Inggris/Britania Raya", maka menyebut “Turki Utsmani” pun seharusnya tak kalah wajar dan membanggakan.


Komentar
Posting Komentar