Di dalam dunia kerja, politik pemerintahan, pendidikan, hingga kehidupan bermasyarakat, kita sering mendengar perkataan seperti: “Itu bukan urusan saya”, “Kami punya aturan sendiri”, atau “Kenapa saya harus peduli?” Perkataan-perkataan semacam ini adalah cerminan dari dua penyakit sosial yang diam-diam menggerogoti kemajuan bersama: ego sektoral dan individualisme berlebihan.
Apa Itu Ego Sektoral?
Ego sektoral terjadi ketika sebuah kelembagaan (institusi) merasa bahwa kepentingannya lebih penting daripada kerja sama lintas sektor dan lintas lembaga. Bukannya membuka diri terhadap kolaborasi, mereka justru membangun tembok birokrasi yang tinggi dan kaku.
Contoh nyata:
-
Instansi A tidak mau berbagi data dengan instansi B, meskipun data itu bisa membantu pelayanan publik.
-
Dinas X mengklaim proyek tertentu sebagai “wilayah kekuasaan”-nya dan menolak bantuan atau masukan dari Dinas Y dan lembaga lainnya.
Ego sektoral ini sering ditemukan di lingkungan birokrasi dan pemerintahan, namun dunia usaha dan pendidikan pun tidak luput darinya. Ketika lembaga lebih fokus pada mempertahankan “lahan” ketimbang menyelesaikan masalah bersama, maka kolaborasi dan sinergi hanya akan jadi jargon kosong.
Apa Itu Individualisme Berlebihan?
Individualisme pada dasarnya tidak salah. Menghargai kemandirian, prestasi, dan pencapaian pribadi adalah hal baik. Tapi ketika individualisme menjelma menjadi sikap “asal saya selamat”, “yang penting saya untung”, dan “bukan urusan saya”, maka ia menjadi racun.
Contoh individualisme merusak:
-
Pegawai yang menolak membantu rekan kerja dengan alasan “itu bukan kerjaan saya”.
-
Warga yang buang sampah sembarangan karena “nanti juga ada petugas kebersihan”.
-
Pengendara yang menyerobot antrean karena merasa waktunya lebih berharga dari orang lain.
Mengapa Ini Berbahaya?
Baik ego sektoral maupun individualisme ekstrem adalah bentuk dari keengganan untuk berkolaborasi, bersinergi dan berkontribusi. Padahal, tantangan zaman sekarang—dari perubahan iklim, krisis pangan, hingga kemacetan lalu lintas—tidak bisa dipecahkan sendirian. Butuh kerja kolektif lintas batas, lintas sektor, dan lintas ego.
Ketika masing-masing pihak hanya fokus pada kepentingannya sendiri:
-
Masalah jadi berlarut-larut.
-
Sumber daya terbuang sia-sia.
-
Rakyat kecil jadi korban dari ketidakefisienan sistem.
Solusi: Kesadaran Kolektif dan Kepemimpinan yang Inklusif
Mengatasi ego sektoral dan individualisme bukan perkara mudah, tapi bukan juga hal yang mustahil. Diperlukan:
-
Kepemimpinan yang inklusif, yang tidak hanya berpikir dalam kerangka sektoral, melainkan mampu menjahit/merajut berbagai kepentingan ke dalam satu visi bersama.
-
Insentif untuk kolaborasi, baik dalam bentuk penghargaan maupun sistem kerja yang mendorong sinergi.
-
Pendidikan karakter sejak dini, agar masyarakat tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki empati sosial dan semangat gotong royong.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang dipenuhi orang-orang pintar yang berjalan sendiri-sendiri. Tapi bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menyatukan kekuatan, saling mengisi, dan saling peduli. Tidak ada peradaban besar yang dibangun sendirian. Maka dari itu, sudah saatnya kita menurunkan ego sektoral dan individualisme demi membangun masa depan bersama.
Komentar
Posting Komentar