Langsung ke konten utama

Jika Nusantara 'tidak dijajah'

Mungkin Anda mempertanyakan, mengapa saya membubuhkan tanda petik pada kata “tidak dijajah”?

Sejatinya, kata “tidak dijajah” mengandung ironi. Sebab dalam sejarah panjang Nusantara, pertanyaan soal ‘penjajahan’ tidak sesederhana kedatangan bangsa Eropa. Penaklukan dan perebutan kekuasaan telah terjadi bahkan sebelum kedatangan bangsa Portugis ke Malaka atau VOC ke Batavia. Dalam skala regional, kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan, persekutuan politik, bahkan perbudakan. Maka dari itu, kata “tidak dijajah” harus dibaca secara kritis — siapa yang menjajah siapa? Dalam konteks global atau domestik?

Namun, mari kita bermain dalam ruang spekulatif: bagaimana jika Nusantara tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa? Bagaimana jika Majapahit, sebagai kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Asia Tenggara, tidak runtuh pada abad ke-15 dan justru berhasil berevolusi menjadi kekuatan modern?

Warisan Majapahit: Dari Imperium ke Bangsa dan Negara?

Jika Majapahit masih bertahan, mungkin Nusantara akan mengalami transformasi yang sangat berbeda. Bayangkan jika kekuatan Majapahit berhasil membendung penyebaran pengaruh kolonialisme Eropa, bukan hanya dengan kekuatan militer, tetapi melalui diplomasi dan adaptasi teknologi.

Majapahit mungkin akan menjadi kekuatan regional seperti halnya Jepang di zaman Meiji atau Kesultanan Turki Utsmani di awal modern. Sistem birokrasi yang lebih kompleks akan terbentuk, perdagangan internasional akan dimodernisasi, dan pengaruh budaya Hindu-Buddha mungkin akan berbaur lebih lambat dengan Islam — bukan melalui konflik, tetapi asimilasi institusional. Nusantara akan punya lebih banyak waktu untuk membentuk identitasnya sendiri sebelum intervensi asing datang mengubah fondasinya secara drastis.

Tidak Dijajah = Tidak Modern?

Ada asumsi keliru bahwa penjajahan “membawa modernisasi”. Padahal, kemodernan bukanlah hadiah penjajah, melainkan hasil dari kebutuhan adaptasi. Jepang bisa modern tanpa dijajah. Thailand mempertahankan kemerdekaannya melalui reformasi internal. Jika Majapahit bertahan, bukan tidak mungkin Nusantara akan menemukan jalur modernisasinya sendiri — dengan model perpaduan antara adat, budaya lokal, dan ilmu pengetahuan dari luar yang disaring melalui lensa kedaulatan.

Bagaimana Bentuk Nusantara jika 'tidak dijajah'?

Tanpa campur tangan kolonialisme, wilayah Nusantara mungkin tidak terbagi menjadi bangsa bernegara seperti sebenarnya sekarang. Alih-alih Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Timor Leste, mungkin kita akan melihat satu federasi besar seperti “Majapahit Raya”, "Nusantara Raya" atau “Konfederasi Nusantara Raya” yang berisi berbagai suku dan wilayah dengan otonomi tinggi namun di bawah satu kesatuan kedaulatan.

Bahasa resmi mungkin bukan bahasa Indonesia (produk politik linguistik abad ke-20), melainkan bentuk evolusi dari bahasa Jawa Kuno atau Kawi, yang telah disederhanakan dan diperluas penggunaannya. Bahkan, aksara Nusantara bisa jadi akan tetap dominan: aksara Jawa, aksara Bali, atau bentuk baru dari aksara Pallawa yang diperbaharui menjadi sistem tulisan nasional.

Teknologi, Pertahanan, dan Politik Luar Negeri

Dalam dunia tanpa kolonialisme, kemungkinan besar Majapahit atau penerusnya akan menjadi kekuatan teknologi maritim dan pertahanan seperti Jepang. Dengan posisi silang yang bernilai strategis, negara ini akan memiliki armada laut besar, mungkin bersekutu (beraliansi) dengan China, India, atau bahkan membentuk poros maritim sendiri yang menjadi kekuatan tandingan di Samudra Hindia dan Pasifik (kawasan Indo-Pasifik).

Hubungan luar negeri akan berporos pada diplomasi antikolonial, perdagangan berbasis rempah dan barang manufaktur lokal, serta konsolidasi kekuasaan wilayah laut — termasuk pengamanan jalur pelayaran seperti Selat Malaka dan Laut Jawa yang vital secara ekonomi dan geopolitik.

Imajinasi Bukanlah Penyangkalan

Membayangkan Nusantara “tidak dijajah” bukanlah bentuk penyangkalan terhadap sejarah yang terjadi. Ini adalah cara untuk membuka ruang berpikir alternatif. Agar kita tidak terkungkung oleh narasi bahwa “kita maju karena dijajah,” tetapi memahami bahwa kita bisa maju tanpa dijajah jika kita mampu mengelola kedaulatan, mengembangkan ilmu, dan mempertahankan nilai-nilai adab, sebagaimana dikatakan oleh para tokoh kebangkitan nasional.

Dalam dunia yang terus berubah, imajinasi terhadap masa lalu yang berbeda bisa menjadi lentera untuk melihat masa depan yang lebih berdaulat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.