Langsung ke konten utama

Rasisme dan diskriminasi di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Mengapa pernyataan “tentara harus hitam/putih” justru memperkeruh semangat persatuan?

Pendahuluan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikenal sebagai garda terdepan pertahanan negara yang menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, seiring dengan berkembangnya wacana kesetaraan dan keadilan sosial bagi Indonesia, muncul pula pertanyaan kritis: Apakah TNI sudah bebas dari rasisme dan diskriminasi?

Isu ini kembali mengemuka ketika beredar pernyataan tidak resmi namun viral yang menyebutkan bahwa “tentara harus hitam/putih”, seakan menyiratkan bahwa hanya orang dari kelompok tertentu—baik secara etnis, warna kulit, maupun ideologi—yang layak menjadi bagian dari militer. Pernyataan ini, walau terdengar metaforis, membuka luka lama tentang diskriminasi struktural dalam institusi pertahanan Indonesia.


Sejarah Panjang dan Bayang-bayang Diskriminasi

TNI lahir dari perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan (kolonialisme). Ironisnya, setelah kemerdekaan, berbagai kelompok suku (etnis) dan daerah tertentu masih merasa terpinggirkan. Papua, Maluku, NTT, hingga beberapa komunitas di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi kerap melaporkan perlakuan tidak adil saat mereka ingin masuk atau sudah berada di dalam lingkungan TNI.

Beberapa kasus yang sempat mencuat:

  • Tes penerimaan TNI di sejumlah daerah yang kerap kali menyulitkan calon dari latar belakang etnis tertentu dengan dalih “standar fisik”.

  • Stereotip internal yang menyebut bahwa personel dari daerah tertentu hanya cocok di satuan tempur, bukan di bidang intelejen, staf komando, atau diplomasi militer.

  • Pengucilan sosial dan perundungan (bullying), baik verbal maupun fisik, terhadap prajurit minoritas di asrama atau tempat pelatihan.


“Tentara Harus Hitam/Putih”: Pernyataan yang Problematis

Ungkapan "tentara harus hitam/putih" secara literal memang bisa dimaknai sebagai “tidak boleh abu-abu”—mengacu pada prinsip tegas dan loyal. Namun, dalam konteks sosial dan identitas, kalimat ini juga menimbulkan tafsir rasial yang berbahaya, seolah menyiratkan preferensi terhadap kelompok etnis atau warna kulit tertentu.

Pernyataan ini membuka ruang bagi justifikasi diskriminatif di dalam tubuh militer, terutama jika dibiarkan tanpa klarifikasi dan pembenahan institusional. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip universal militer modern: profesionalisme, meritokrasi, dan keberagaman sebagai kekuatan.


Mengapa Ini Berbahaya?

  1. Melemahkan Semangat Persatuan Nasional
    Jika institusi militer yang seharusnya menjadi simbol persatuan justru mencerminkan eksklusivisme, maka kepercayaan publik terhadap TNI akan menurun.

  2. Menghambat Profesionalisme
    Diskriminasi internal mendorong budaya loyalitas semu berdasarkan asal-usul, bukan berdasarkan kompetensi dan dedikasi.

  3. Membuka Potensi Radikalisasi atau Disintegrasi
    Rasa tidak adil yang dibiarkan bisa menyuburkan benih-benih ketidakpuasan, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan oleh kelompok separatis atau ekstremis.


Apa yang Harus Dilakukan?

  • Audit Internal dan Reformasi Rekrutmen
    Pemeriksaan menyeluruh terhadap proses rekrutmen, pelatihan, promosi, dan penempatan untuk memastikan bebas dari bias suku (etnis), agama, atau golongan wilayah.

  • Pendidikan Anti-Diskriminasi dalam Kurikulum TNI
    Materi wawasan kebangsaan harus ditambah dengan pendidikan toleransi, multikulturalisme, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

  • Sanksi Tegas terhadap Praktik Diskriminasi
    Baik berupa pelecehan verbal, bullying, hingga penolakan berbasis stereotip harus mendapat sanksi administratif hingga pidana.

  • Keterwakilan yang Lebih Adil
    Harus ada upaya untuk menyeimbangkan keterwakilan seluruh daerah dan etnis dalam tubuh TNI, tidak hanya sebagai simbol, tapi sebagai bagian dari transformasi struktural.


Kesimpulan

TNI adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik satu ras, suku, atau golongan. Tidak ada tempat bagi diskriminasi dan rasisme dalam institusi yang bertugas menjaga keutuhan bangsa. Sudah saatnya kita mendesak perubahan: bahwa tentara bukan harus hitam atau putih, tapi harus merah-putih—setia kepada bangsa dan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang mereka.


Jika kamu punya pengalaman atau pendapat terkait isu ini, silakan tulis di kolom komentar. Saatnya kita bicara, demi TNI yang lebih adil dan Indonesia yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.