Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa?
Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.
1. Kuat Secara Individu, Lemah Secara Kolektif
Sebagai individu, orang Indonesia cemerlang. Namun ketika diminta untuk bekerja sama demi bangsa dan negara, koordinasi sering kali runtuh. Seperti tim sepak bola di mana tiap pemain hanya ingin menggiring bola demi kejayaan pribadi tanpa pernah mengoper. Kita gagal bermain demi Indonesia. Kerap terjadi: institusi kita terpecah belah, konflik internal marak, serta persatuan dan persatuan runtuh di bawah ego atau kepentingan sektoral.
Banyak bakat sekelas Nobel ada di antara kita, tapi mereka sering kali berhasil setelah meninggalkan Indonesia. Di luar negeri, mereka dihargai. Di dalam negeri, mereka diabaikan, bahkan kadang dihujat.
2. Kurangnya Visi Strategis Nasional
Pertimbangkan kisah dari India masa penjajahan, yang juga relevan dengan Indonesia: ketika seorang dokter Inggris menyelamatkan nyawa seorang penguasa Mughal, ia ditawari emas. Namun ia menolak, dan malah meminta hak perdagangan bebas untuk EIC, langkah yang kelak membantu menjajah India.
Ketika pihak asing berpikir strategis jangka panjang, para penguasa setempat justru puas dengan hadiah pribadinya sendiri.
Tiga ratus tahun kemudian, Indonesia masih kesulitan berpikir jangka panjang. Banyak orang masih mengejar kontrak pendek, komisi, dan status, bukan institusi abadi atau proyek nasional. Apa yang menjadi tuntutan strategis kita? Apakah kita bahkan memilikinya?
3. Sistem yang "Membasmi" Para Pahlawan
Mengapa pemain medioker bisa bertahan hidup dalam sistem, sementara para pemain baru justru disingkirkan terlepas jika mereka berbakat?
AS memberi wadah bagi banyak orang Indonesia untuk unggul — beasiswa, pendanaan, promosi, bahkan kartu hijau (green card). Sementara di tanah air, orang-orang yang sama harus menghadapi birokrasi, korupsi, bahkan sabotase. Coba bangun sekolah atau yayasan dengan misi yang luhur — dan lihat berapa banyak hambatan yang muncul. Sistem kita dirancang untuk melindungi status quo, bukan mendukung pembawa perubahan.
Bahkan bisa dibilang masuk universitas top di Indonesia lebih sulit dibanding masuk MIT atau Harvard, bukan karena kita lebih unggul, tapi karena kita justru menyaring dan menyaring, bukan membina.
4. Kita Takut dengan Perubahan dan Menghukum Pengambil Risiko
Coba buka rintisan (startup) sederhana, dan Anda akan menemui tembok berupa formulir, pajak, izin, dan langkah-langkah tak perlu. Kenapa? Karena alih-alih mengelola risiko, sistem kita justru menghindarinya.
Penjahat mungkin memakai kartu perdana (SIM card) ilegal, maka seluruh rakyat dipaksa mendaftar kartu perdana dengan birokrasi rumit. Beberapa koruptor menyalahgunakan hibah, maka seluruh pendanaan ditutup. Penghindaran risiko menjadi kebijakan, dan inovasi dicekik.
Kita lebih takut kehilangan kendali daripada berani bertumbuh.
5. Kita Meruntuhkan yang Sukses
Sebut saja "Konsensus Nusantara" atau "Visi Indonesia Emas", dan Anda akan mendengar cibiran. Kita senang meruntuhkan siapa pun yang berani naik. Di ranah politik, jika satu pihak mengusulkan kebijakan yang baik dan benar, pihak lain pasti menolak. Bukan karena kebijakannya yang buruk dan salah, tapi karena bukan mereka yang mengusulkannya.
Keunggulan disambut dengan kecurigaan. Kritik, kalau bukan iri hati, cepat menyusul.
6. Kita Merayakan Kesusahpayahan (Mediokritas), Bukan Pencapaian (Prestasi)
Memuji orang yang "tidak bikin keributan" lebih umum daripada merayakan inovasi. Kenaikan jabatan (promosi) lebih mungkin diraih jika Anda mengatakan “siap, pak” daripada menantang asumsi yang keliru.
Di pemerintahan, perusahaan, bahkan pendidikan, banyak pemimpin yang lebih suka kepatuhan daripada kecemerlangan. Inisiatif dianggap pembangkangan, dan keseragaman diberikan penghargaan.
7. Kita Salah Memandang Kekejaman sebagai Kepemimpinan
Bersikap ramah, terbuka, dan empati sering dianggap sebagai kelemahan. Pimpinan menjadi identik dengan sifat otoriter — berteriak lebih keras, bertindak lebih kasar, dan membungkam perbedaan pendapat.
Semua partai besar berpusat pada satu tokoh (figur). Demokrasi internal sering kali hanyalah mitos. Sebagai bangsa dan negara, kita lebih suka diperintah daripada memerintah diri sendiri karena lebih mudah, dan pilihan tersebut menghambat budaya demokrasi yang sejati.
8. Diskriminasi di Lingkaran Sendiri
Banyak orang Indonesia yang sukses di luar negeri pulang untuk berkontribusi — namun malah disingkirkan di tanah air. Warna kulit, logat daerah, pengalaman kerja di luar negeri. bukannya dihargai, justru sering menjadi alasan penolakan.
Orang asing yang kurang kompeten kadang lebih dihormati daripada pakar negeri sendiri. Dan sering kalinya, tantangan terbesar bukan dari luar, tapi dari sesama orang Indonesia yang merasa terancam oleh keberhasilan Anda.
9. Kisah Pribadi untuk Renungan
Orang Indonesia yang sukses pulang setelah puluhan tahun di luar negeri, siap mengabdi. Dalam ruang rapat, ia diwawancarai oleh orang Indonesia dan orang asing. Si orang asing itu, ternyata dulunya adalah bawahannya — dan langsung mengenali nilainya. Tapi orang Indonesia? Ekspresinya berubah.
Itulah yang menyakitkan. Anda lebih dihargai oleh orang asing daripada oleh orang bangsa sendiri. Itulah harga dari menjadi unggul di tanah yang takut pada keunggulan.
10. Kapan Negara Indonesia Akan Sukses?
Negara Indonesia akan sukses jika:
- Kita berhenti takut pada bakat (talenta).
- Kita mulai bermain sebagai tim, bukan untuk diri sendiri.
- Kita menghargai dampak jangka panjang daripada imbalan jangka pendek.
- Kita menyederhanakan, bukan mempersulit.
- Kita memberi penghargaan pada inisiatif, bukan kepatuhan.
- Kita memandang kebaikan sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Sebagai orang Indonesia yang bangga, tulisan ini bukan ditulis dengan kepahitan, tetapi dengan harapan bahwa suatu hari, keberhasilan orang Indonesia akan sejalan dengan keberhasilan negara Indonesia.
Mari kita mulai percakapannya.
CATATAN PENTING: Artikel ini mencerminkan sudut pandang pribadi. Setuju atau tidak setuju? Sampaikan pandangan Anda. Indonesia tidak akan tumbuh dengan tinggal diam, melainkan melalui dialog. Kritik, komentar, dan kontribusi, baik pujian maupun hujatan, semuanya saya terima.
Komentar
Posting Komentar