Langsung ke konten utama

Ejaan dan pengucapan rembulan (qamariah) dan mentari (syamsiah)

Pernahkah Anda mendengar seseorang mengucapkan “Al-Syams” dengan sangat jelas menyuarakan huruf “L”-nya? Atau justru menyebut “An-Nur” tetapi tetap melafalkannya sebagai “Al-Nur”? Jika iya, maka Anda telah bersinggungan langsung dengan fenomena penting dalam kaidah ejaan dan pelafalan bahasa Arab: huruf qamariah dan huruf syamsiah.

🌙 Qamariah dan 🌞 Syamsiah: Apa Bedanya?

Dalam bahasa Arab, huruf-huruf hijaiyah terbagi menjadi dua kelompok ketika didahului oleh "alif-lam" (الـ) sebagai kata sandang atau artikel penentu (definite article, seperti “the” dalam bahasa Inggris):

  1. Huruf Qamariah (القمرية = "rembulan")

    • Huruf-huruf ini tetap melafalkan huruf "L" dari "Al-" saat dibaca.

    • Contoh: القمر (Al-Qamar) = Bulan
      ✔️ Pengucapan: Al-Qamar (dengan “L” yang terdengar)

  2. Huruf Syamsiah (الشمسية = "mentari")

    • Huruf-huruf ini menyebabkan huruf “L” dari “Al-” tidak dibaca, dan huruf pertama dari kata ditekan atau digandakan (ditasydid).

    • Contoh: الشمس (Asy-Syams) = Matahari
      ✔️ Pengucapan: Asy-Syams (bukan “Al-Syams”)

🌙 Daftar Huruf Qamariah

Huruf-huruf Qamariah berjumlah 14:

أ ب ج ح خ ع غ ف ق ك م هـ و ي
Kaidah: Huruf "L" (ل) tetap dibaca.

Contoh lain:

  • الْبَيْت (Al-Bayt) = Rumah

  • الْكِتَاب (Al-Kitab) = Buku

🌞 Daftar Huruf Syamsiah

Huruf-huruf Syamsiah juga berjumlah 14:

ت ث د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ل ن
Kaidah: Huruf "L" (ل) dileburkan (asimilasi ke huruf selanjutnya).

Contoh lain:

  • النَّاس (An-Naas) = Manusia

  • الرَّحْمٰن (Ar-Rahman) = Maha Pengasih


Kesalahan Umum: Salah "Al-", Salah Makna

Banyak orang – bahkan pembaca berita, da’i, dan pembawa acara – sering mengucapkan "Al-" secara salah, tanpa membedakan apakah kata itu dimulai oleh huruf qamariah atau syamsiah. Ini tidak hanya kesalahan teknik fonetika, tetapi bisa merusak keindahan dan makna bahasa Arab yang sarat dengan irama dan tata suara yang mendalam.

Contoh kesalahan yang sering terjadi:

  • ❌ “Al-Syams” → seharusnya ✅ “Asy-Syams”

  • ❌ “Al-Nur” → seharusnya ✅ “An-Nur”

  • ❌ “Al-Rahman” → seharusnya ✅ “Ar-Rahman”

Ironisnya, banyak media yang sudah menuliskan transliterasi Latin dengan benar (“Asy-Syams”, “Ar-Rahman”), tetapi tetap dibacakan dengan pelafalan yang salah (“Al-Syams”, “Al-Rahman”).


📌 Kenapa Ini Penting?

  1. Pelafalan yang tepat adalah bagian dari penghormatan terhadap bahasa Arab, terutama bagi Muslim yang menggunakan bahasa ini dalam ibadah.

  2. Kaidah qamariah dan syamsiah merupakan dasar fonetik dalam membaca Al-Qur’an, sehingga kesalahan dalam hal ini bisa berdampak serius dalam tilawah.

  3. Bagi pelajar, jurnalis, dan pendidik, pengucapan yang benar menunjukkan kredibilitas dan ketepatan linguistik.


Penutup: Belajar dari Rembulan dan Mentari

Huruf qamariah dan syamsiah bisa diibaratkan rembulan dan mentari yang memiliki karakter cahaya yang berbeda. Rembulan memantulkan cahaya lembut yang tidak menyilaukan—seperti huruf "L" yang tetap tenang diucapkan. Sementara mentari menyinari dengan terang—seperti huruf yang menelan “L” dan tampil kuat.

Mari kita pelajari dan praktikkan:
🔹 Al-Qamar dengan lafal L (Lam) yang jelas
🔸 Asy-Syams dengan peleburan yang fasih

Dengan begitu, kita tidak hanya berbicara bahasa Arab, tapi juga menghormati ruh dan iramanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.