"Sejarah tidak akan terulang kembali" adalah ungkapan yang sering terdengar di ruang publik. Pernyataan ini seolah‑olah menjadi pembenaran bahwa masa lalu hanyalah catatan di buku pelajaran, sementara masa kini dan masa depan sepenuhnya terputus darinya. Pandangan tersebut berbahaya karena menandakan kelengahan dalam memahami pola‑pola sejarah. Sejarah mungkin tidak pernah menyalin dirinya, tetapi pola‑pola yang sama sering muncul kembali dalam wujud yang berbeda. Mark Twain, melalui novel The Gilded Age yang ia tulis bersama Charles Dudley Warner, menulis bahwa “Sejarah tidak pernah mengulang dirinya, tetapi kombinasi kaleidoskopik dari masa kini sering tampak tersusun dari pecahan‑pecahan legenda kuno”. Pepatah populer yang sering disandangkan kepadanya, “history doesn’t repeat itself, but it often rhymes” (artinya: sejarah tidak terulang sendirinya, tetapi ia ada rimanya), rupanya baru muncul pada 1960‑an dan berkemungkinan berasal dari psikoanalis Theodor Reik. [1]
Mengapa ungkapan “sejarah tidak terulang kembali” berbahaya?
Sir John Glubb, dalam esainya The Fate of Empires, meninjau sekitar empat ribu tahun sejarah di berbagai negeri dan menemukan bahwa “pola yang sama terus‑menerus diulang di bawah kondisi iklim, budaya dan agama yang sangat berbeda”. Ia menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi “berulang lagi dan lagi”. Mengabaikan pola‑pola tersebut membuat kita mengulangi kesalahan yang sama. Ketika orang percaya bahwa masa lalu tidak akan datang kembali, mereka cenderung menutup mata terhadap tanda‑tanda yang sudah dikenali oleh para sejarawan. [2]
Pola yang berulang dalam sejarah
Berikut beberapa contoh pola yang berulang dari berbagai zaman yang menunjukkan bagaimana penguasa menggunakan kontrol informasi, pendidikan, dan hiburan untuk mempertahankan kekuasaan. Tabel berikut merangkum strategi tersebut secara singkat:
| Negara/Kekuasaan | Pola pengendalian | Dampak |
|---|---|---|
| Romawi kuno | Panem et circenses – pembagian gandum gratis (Annona), permainan gladiator, balap kereta dan festival | Masyarakat terhibur dan puas tetapi tidak menuntut reformasi mendasar; penguasa menutupi ketimpangan sosial |
| Jerman Nazi | Pembersihan guru dan penggantian buku pelajaran; 97 % guru masuk liga guru nasional; buku pelajaran baru menanamkan cinta pada Hitler, ketaatan, militerisme dan rasisme | Generasi muda dibentuk menjadi pengikut setia ideologi; kebebasan berpikir dan pluralisme lenyap |
| Italia fasis | Mussolini menunjuk menteri pendidikan loyalis; kurikulum dibatasi dan buku nasional disusun untuk mempromosikan ideologi fasis | Pendidikan menjadi alat propaganda; kritik dan pengetahuan yang berbeda dibungkam |
| Uni Soviet | Kurikulum diresapi propaganda Marxis‑Leninis; pelajaran wajib “Marxisme‑Leninisme” dan propaganda politik merembes ke semua mata pelajaran | Masyarakat dibentuk menjadi “manusia Soviet” yang tunduk pada ideologi, dan para penentang dijatuhi hukuman |
Contoh konkret pola pengendalian
1. “Panem et circenses” di Romawi
Pada puncak kejayaan Kekaisaran Romawi, para kaisar menghadapi tantangan memelihara kesetiaan masyarakat yang beragam. Mereka merespons dengan strategi “panem et circenses”, yakni menyediakan makanan pokok gratis dan hiburan massal. Tulisan di situs Medium oleh Jyothikrishnan Achary yang berjudul "Bread, Circuses, and Capital" mencatat bahwa para pemimpin Romawi secara sengaja memberi “pangan dan tontonan yang memikat untuk mengalihkan perhatian dari masalah sosial dan politik”. Distribusi gandum gratis atau bersubsidi melalui sistem Annona memastikan rakyat kota tidak kelaparan, sementara pertarungan gladiator dan balapan kereta di arena besar seperti Circus Maximus menyediakan tontonan yang menghibur. Festival, pertunjukan teater dan pembangunan pemandian umum menambah daftar hiburan. Strategi ini memang menjaga stabilitas, tetapi sekaligus menutupi ketimpangan sosial dan korupsi di balik kemegahan. [3]
2. Indoktrinasi dalam pendidikan Jerman Nazi
Setelah tahun 1933, rezim Nazi merombak sistem pendidikan. Holocaust Encyclopedia mencatat bahwa sekolah dan organisasi pemuda seperti Hitler Youth dipakai untuk menghasilkan warga yang “sadar ras, taat, rela berkorban” bagi sang Führer. Pemerintah memecat guru‑guru yang dianggap Yahudi atau tidak setia (tidak loyal), lalu sebagian besar guru yang tersisa bergabung dengan Liga Guru Nasional (hingga 97 %). Buku pelajaran baru diajarkan untuk menanamkan cinta kepada Hitler, ketaatan kepada negara, militerisme, rasisme dan antisemitisme. Sejak hari pertama bersekolah, foto Hitler terpajang di ruang kelas dan anak‑anak disuguhi cerita yang memuja sang pemimpin. Dengan demikian, kurikulum berubah dari pendidikan umum menjadi instrumen propaganda, mengubah otak manusia menjadi otak domba. [4]
3. Kontrol pendidikan di Italia Fasis
Artikel opini di Scientific American menyoroti kesamaan antara serangan terhadap pendidikan di Florida dengan strategi fasis Italia. Jurnalis Eden McLean menulis bahwa di zaman (era) Benito Mussolini, kendali negara di atas pendidikan meluas; Mussolini menempatkan menteri‑menteri pendidikan dari kalangan setia (loyalis) terhadap partai, bukan pendidik profesional. Kurikulum dikendalikan sepenuhnya oleh negara; buku‑buku pelajaran nasional yang disusun oleh segelintir orang memuat pandangan dunia fasis yang mengagungkan kejayaan Romawi kuno, superioritas ras Italia dan kewajiban perempuan untuk melahirkan prajurit tentara. Tujuan utamanya bukan untuk mencerdaskan bangsa, tetapi membentuk rakyat agar seragam dan mudah diarahkan. [5]
4. Propaganda pendidikan di Uni Soviet
Meski Uni Soviet berhasil mengentaskan angka buta huruf dan memperluas akses pendidikan, kurikulumnya dipenuhi propaganda. Artikel The Atlantic pada tahun 1953 menuliskan bahwa indoctrination in Marxist theory (“Indoktrinasi di teori Marxis”) ditanamkan melalui Komsomol (liga pemuda komunis) dan sekolah; propaganda politik meresapi seluruh kurikulum. Anak‑anak diajari bahwa biologi “Soviet” lebih unggul daripada biologi “borjuis” dan ketika mempelajari Shakespeare, mereka harus memahami pandangan Marx mengenai kapitalisme Inggris. Kursus “Marxisme‑Leninisme” wajib di semua perguruan tinggi, dan disertasi doktoral harus selaras secara ideologi; apabila ada “kesalahan” ideologi, gelar dapat dicabut. Sistem ini menunjukkan bagaimana pendidikan digunakan bukan hanya untuk membekali keterampilan, tetapi juga untuk membentuk kesetiaan total. [6]
Mengubah manusia menjadi “binatang” yang mudah dikendalikan
Di antara contoh‑contoh di atas terdapat benang merah: penguasa menurunkan potensi rakyatnya dengan merendahkan pendidikan, membatasi pengetahuan dan membungkam kebebasan berpendapat. Strategi ini secara sengaja melemahkan kemampuan berpikir kritis sehingga rakyat menjadi patuh seperti domba. Pepatah yang berbunyi “kalau lebih mudah mengendalikan binatang daripada manusia, ubah saja manusianya menjadi binatang” menjadi metafora yang pas. Dengan menutup akses terhadap ilmu dan beragam pandangan, penguasa memaksakan cerita tunggal yang harus diyakini oleh semua orang.
Kewaspadaan masa kini
Memahami pola‑pola ini bukan sekadar latihan akademik. Banyak pihak hari ini masih berkeyakinan bahwa pengetatan kurikulum atau pembatasan pengetahuan adalah demi “kebaikan bersama”, padahal strategi serupa pernah dijalankan oleh rezim otoriter. Eden McLean menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan di Florida yang membatasi akses terhadap pandangan berbeda mirip dengan kebijakan Mussolini yang mengecilkan peran guru profesional [6]. Para sejarawan dan jurnalis mengingatkan bahwa pola serupa—mengerdilkan pendidikan, mengganti buku pelajaran, dan memprioritaskan loyalitas di atas kompetensi—telah berkali‑kali menghasilkan generasi yang tidak siap menghadapi tantangan zaman dan mudah dibohongi.
Kesimpulan
Mitos “sejarah tidak akan terulang kembali” menipu kita untuk berpuas diri. Mark Twain memang menulis bahwa sejarah memiliki rima — ia tidak mengulang persis, tetapi pola‑polanya muncul lagi dalam bentuk berbeda. Dari Romawi kuno hingga Italia fasis, dari Jerman Nazi hingga Uni Soviet, upaya menurunkan mutu pendidikan, membatasi akses pengetahuan, dan menggantikan pemikiran kritis dengan propaganda menunjukkan ritme yang sama. Sejarah mungkin tidak mengulang persis, tetapi ia berima, dan rima itu bisa kita dengar bila telinga kita tajam. Tugas kita adalah terus belajar, mempertahankan kebebasan berpikir, serta waspada terhadap setiap upaya mengerdilkan potensi manusia. Hanya dengan demikian kita tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.
Komentar
Posting Komentar