Konsep dwiguna sipil-militer (civil-military dual-use) dan pembangunan kompleks industri pertahanan menjadi sangat penting sebagai pendekatan strategis dalam menjawab tantangan pertahanan masa kini dan masa depan.
Apa itu Dwiguna Sipil-Militer (Civil-Military Dual-Use)?
Civil-military dual-use adalah pendekatan di mana infrastruktur atau teknologi yang dibangun untuk keperluan sipil juga dapat dimanfaatkan dalam konteks pertahanan atau militer. Dalam konteks Indonesia, ini dapat meliputi pemanfaatan jalan tol, perkeretaapian, pelabuhan, bahkan bandara sebagai jalur distribusi dan mobilisasi militer.
Contoh konkret dari pendekatan ini adalah desain jalan tol yang cukup lebar untuk digunakan sebagai landasan pacu darurat bagi pesawat tempur. Negara-negara seperti Jerman, Swedia, dan Singapura telah menerapkan konsep ini secara aktif. Di Filipina, sempat viral video pesawat tempur yang mendarat di jalan raya yang dirancang sedemikian rupa. Demikian pula di negara-negara seperti Rusia, India, China, dan Amerika Serikat, kereta api dan jalan tol seringkali digunakan untuk mengangkut tank dan kendaraan tempur lainnya sebagai bagian dari kesiapsiagaan pertahanan mereka.
Implementasi konsep ini di Indonesia tentu tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan sinergi antara Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan kementerian terkait lainnya. Hanya dengan kolaborasi lintas sektor inilah sistem dual-use dapat terwujud dengan efektif.
Kompleks Industri Pertahanan (Military-Industrial Complex)
| Distribusi penjualan alutsista global tahun 1950-2006 [sumber: SIPRI, via Wikimedia Commons] |
| Pabrik perakitan pesawat tempur di Amerika Serikat [sumber: via X (Twitter) dan Reddit] |
Istilah military-industrial complex atau "kompleks industri pertahanan" merujuk pada jaringan kolaboratif antara militer, industri, dan pemerintah dalam mengembangkan dan memproduksi alat utama sistem senjata (alutsista) secara mandiri. Konsep ini pertama kali populer di Amerika Serikat pasca Perang Dunia II, sebagai pengingat bahwa kekuatan militer harus didukung oleh basis industri dalam negeri yang kuat.
Indonesia perlu membangun basis industri pertahanan nasional yang kokoh agar tidak terus-menerus bergantung pada alutsista impor. Pendekatan yang umum digunakan adalah model Triple Helix dan Penta Helix, yaitu kolaborasi antara lima pilar utama: militer, industri, akademisi, pemerintah, dan masyarakat atau komunitas.
Di Indonesia, institusi seperti PT Pindad (untuk senjata dan kendaraan tempur), PT Dirgantara Indonesia (untuk pesawat), dan PT PAL (untuk kapal laut) memegang peran strategis dalam pembangunan ekosistem ini. Namun, mereka tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan dukungan dari lembaga riset, universitas, dan start-up teknologi untuk menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan pertahanan nasional.
Manfaat dan Tujuan Strategis
Pengembangan dwiguna sipil-militer dan kompleks industri pertahanan memiliki manfaat besar secara strategis, terutama dalam mendukung tiga tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI):
-
Menjaga kedaulatan negara.
-
Menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
-
Menjaga keselamatan bangsa dari segala bentuk ancaman.
Selain itu, pendekatan ini akan menghemat anggaran dan waktu karena sistem logistik militer dapat terintegrasi dengan infrastruktur sipil yang sudah tersedia. Kemandirian teknologi juga menjadi tujuan utama. Untuk mencapainya, Indonesia harus menjalin kerja sama internasional dengan skema transfer of technology (ToT), seperti yang dilakukan dalam program pesawat tempur IF-X bersama Korea Selatan dan berbagai proyek bersama dengan Turki, Prancis, maupun negara-negara mitra lainnya.
Dalam konteks anggaran, peningkatan proporsi belanja pertahanan menjadi 1–1,5% dari PDB seperti yang direncanakan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto adalah langkah realistis yang akan memperkuat ketahanan nasional sekaligus mendongkrak industri dalam negeri.
Tantangan dan Solusi
Beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk mewujudkan sinergi sipil-militer dan kompleks industri pertahanan adalah:
-
Kurangnya pemahaman publik sipil tentang pertahanan: Masih banyak yang menganggap urusan pertahanan semata tanggung jawab TNI. Oleh karena itu, edukasi pertahanan melalui institusi seperti Universitas Pertahanan (Unhan) menjadi sangat penting untuk menciptakan melting point antara sipil dan militer.
-
Fragmentasi antar instansi pemerintah: Masalah koordinasi sering menjadi hambatan. Kehadiran Dewan Pertahanan Nasional yang diketuai langsung oleh presiden RI diharapkan mampu menyelaraskan kebijakan lintas sektor secara lebih terintegrasi.
-
Keterbatasan teknologi dalam negeri: Untuk mengatasinya, joint production dengan negara-negara mitra harus ditingkatkan, disertai dengan kesepakatan transfer teknologi yang nyata dan terukur.
-
Belum terbentuknya ekosistem kolaboratif yang solid: Semua sektor—baik pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, maupun media—perlu membangun budaya kolaborasi untuk memperkuat pertahanan nasional secara menyeluruh.
Kesimpulan
Pertahanan bukan hanya persoalan militer. Ia adalah urusan seluruh bangsa. Sistem pertahanan yang kuat hanya bisa terwujud apabila seluruh elemen—sipil maupun militer—bekerja sama dalam membangun infrastruktur yang tangguh dan industri pertahanan yang mandiri.
Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun kekuatan nasional berbasis teknologi, sumber daya manusia, dan kolaborasi lintas sektor. Maka, mari kita dukung pembangunan dwiguna sipil-militer dan kompleks industri pertahanan sebagai fondasi masa depan Indonesia yang kuat dan berdaulat.
Komentar
Posting Komentar