Antara Harapan Politik dan Realita Sejarah
Dalam sejarah politik, terutama pascaperang, rakyat sering kali menghadapi dilema besar: memilih antara sosok yang membawa kemenangan militer atau memilih pemimpin yang bisa membawa pembangunan dan kesejahteraan. Pertanyaannya: apakah pahlawan perang otomatis layak menjadi pahlawan damai?
Harapan masyarakat terhadap politik pascaperang sangat manusiawi: setelah masa-masa getir, mereka mendambakan kestabilan, perumahan yang layak, lapangan pekerjaan, pendidikan untuk anak-anak, layanan kesehatan yang memadai, dan jaminan sosial. Namun, sejarah menunjukkan bahwa tokoh-tokoh besar yang unggul dalam medan perang belum tentu sukses di medan pembangunan damai.
Winston Churchill: Menang Perang, Kalah Pemilu
Salah satu contoh paling terkenal datang dari Inggris (Kerajaan Britania). Winston Churchill dipuji sebagai pahlawan besar dalam Perang Dunia Kedua, memimpin Inggris melawan invasi Jerman Nazi di bawah rezim Adolf Hitler. Orasinya membakar semangat rakyat, ketegasannya menggerakkan pasukan, dan strateginya membuat Sekutu tetap bertahan. Namun, pada Pemilu 1945, hanya beberapa bulan setelah kemenangan Eropa atas Nazi, Churchill justru kalah telak dari rivalnya, Clement Attlee.
Mengapa?
Jawabannya sederhana: rakyat Inggris telah lelah dengan perang. Mereka tidak lagi butuh pemimpin militer, melainkan pemimpin sipil yang bisa menghadirkan rumah, pekerjaan, pendidikan, dan sistem kesehatan. Attlee—seorang sosialis moderat—membawa agenda kesejahteraan rakyat, dan itulah yang lebih diinginkan warga pascaperang. Mereka memilih pahlawan damai, bukan lagi pahlawan perang.
Pelajaran Bagi Indonesia: Jangan Terjebak pada Romantisme Masa Perang
Kisah Churchill seharusnya menjadi pelajaran penting, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kita harus menyadari bahwa kepemimpinan di masa perang dan kepemimpinan di masa damai adalah dua hal yang sangat berbeda.
Mari kita ambil contoh dari sejarah kita sendiri.
Presiden Soekarno adalah tokoh sentral dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Ia diangkat sebagai Presiden pertama Republik Indonesia pada masa revolusi melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Ia layak dikenang sebagai pahlawan perang kemerdekaan. Namun, dalam masa damai setelahnya, Soekarno tidak pernah benar-benar memfasilitasi sistem pemilu yang sehat untuk menggantikan dirinya secara demokratis. Orde Lama kemudian diwarnai oleh ketegangan carut-marut politik, stagnasi ekonomi, dan konflik ideologi yang memecah-belah rakyat.
Situasi ini diperparah setelah Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) mengalihkan kekuasaan ke Soeharto yang lalu menjadi Presiden Orde Baru. Alih-alih membuka ruang demokrasi, Soeharto justru berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa atau tiga dekade tanpa siklus pergantian pemimpin yang sehat lewat pemilu yang adil. Pemilu tetap dilakukan, tetapi lebih menyerupai ritual administratif dibandingkan pesta demokrasi yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, dua presiden awal Indonesia, Soekarno dan Soeharto, memang memiliki legitimasi kuat sebagai tokoh perjuangan atau “pahlawan perang,” namun mereka tidak otomatis menjadi pahlawan damai. Kedamaian sejati menuntut ruang demokrasi, pembangunan sosial, dan keadilan ekonomi yang tidak serta-merta menjadi perhatian utama para pemimpin berlatar militeristik atau revolusioner.
Mengapa Pahlawan Perang Tidak Selalu Cocok untuk Masa Damai?
Ada beberapa alasan mendasar mengapa pahlawan perang tidak selalu bisa menjadi pahlawan damai:
-
Mentalitas Peperangan dibandingkan Mentalitas Pembangunan
Pemimpin perang terbiasa mengambil keputusan cepat dan otoriter, karena situasi medan laga memang menuntut itu. Tapi dalam situasi damai, dibutuhkan pendekatan kolaboratif, dialogis, dan kompromistis—hal yang sering bertentangan dengan naluri seorang jenderal atau pemimpin revolusioner. -
Orientasi Kekuasaan ketimbang Pelayanan Publik
Pahlawan perang sering kali merasa "berhak" atas kekuasaan karena jasa-jasanya di masa lalu. Namun, ini bisa melahirkan watak otoriter yang melihat kritik sebagai pembangkangan, bukan bagian dari proses demokrasi. -
Ketidaksiapan Membangun Institusi Sipil
Pahlawan perang sering kali tidak fokus pada pembangunan institusi sipil yang kuat dan transparan. Padahal, damai yang sejati lahir dari birokrasi yang bersih, hukum yang adil, serta sistem ekonomi dan sosial yang inklusif.
Saatnya Indonesia Memilih Pahlawan Damai
Indonesia hari ini tidak sedang berada dalam perang bersenjata yang besar seperti di masa 1940-an. Tantangan kita kini adalah pembangunan: mengentaskan kemiskinan, membangun infrastruktur, memperluas pendidikan dan layanan kesehatan, memperkuat demokrasi, serta menjaga keberagaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Semua itu tidak mesti membutuhkan tokoh militer atau revolusioner, melainkan pula pemimpin dengan visi damai dan kapasitas teknokratik.
Masyarakat harus berani keluar dari bayang-bayang romantisme masa lalu. Memilih pemimpin bukan hanya karena sejarah perjuangannya, tetapi karena programnya hari ini dan visi pembangunannya untuk masa depan. Kita tidak butuh pemimpin yang terus-menerus mengingatkan kita pada perjuangan masa lalu, tetapi yang bisa mengajak kita membayangkan masa depan yang lebih cerah.
Romantisme Masa Lalu Tidak Cukup untuk Membangun Masa Depan
Sejarah penting untuk dihormati, tetapi tidak boleh menjadi beban masa depan. Pahlawan perang punya tempatnya dalam buku sejarah dan monumen kenangan, tetapi pembangunan dan perdamaian membutuhkan pemimpin baru dengan karakter baru. Sosok seperti Clement Attlee—yang tak gembar-gembor di medan laga tetapi berhasil membangun negara kesejahteraan modern di Inggris—harus menjadi inspirasi.
Indonesia punya banyak tantangan: ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, polarisasi sosial politik, dan kemerosotan demokrasi. Semua itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan semangat perang, melainkan dengan keberanian untuk membangun secara damai dan berkelanjutan.
Karena pahlawan perang tidak selalu menjadi pahlawan damai. Dan kini, yang kita juga perlu butuhkan adalah pahlawan damai.
Komentar
Posting Komentar