Langsung ke konten utama

Iblis dan setan lebih pintar ilmunya daripada manusia, mengapa demikian?

Di zaman yang penuh dengan tuntutan pencapaian ilmu pengetahuan ini, banyak orang menganggap bahwa ilmu adalah segalanya. Gelar akademik ditinggikan, kepintaran dijadikan tolak ukur kesuksesan, dan mereka yang memiliki pengetahuan luas sering kali dijadikan panutan. Tapi benarkah ilmu saja cukup untuk membuat manusia berbudi luhur?

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang wali besar dan ulama sufi yang sangat dihormati, pernah berkata bahwa beliau lebih menghargai orang yang beradab daripada yang sekadar berilmu. Mengapa? Karena iblis dan setan pun sebenarnya lebih tinggi ilmunya daripada manusia, namun mereka tetap terlaknat.


Ilmu Iblis: Mendalam Tapi Tidak Membawa Hidayah

Iblis diciptakan sebelum manusia. Ia memiliki pengetahuan tentang para malaikat, makhluk-makhluk Allah, bahkan pernah hidup di langit bersama para malaikat. Dalam riwayat, Iblis adalah ahli ibadah yang luar biasa. Ia mengetahui banyak hal tentang tauhid, penciptaan, dan perintah-perintah Tuhan.

Namun, ketika Allah memerintahkan seluruh makhluk untuk sujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan, Iblis menolak karena kesombongannya.

Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia dari tanah.

– Q.S. Al-A'raf/7:12

Disinilah titik jatuhnya Iblis: ia memiliki ilmu, tetapi tidak memiliki adab. Tidak ada rasa tunduk, tidak ada taat, tidak ada rendah hati.


Ilmu Tanpa Adab = Kesombongan

Iblis menjadi contoh nyata bahwa ilmu yang tidak dibarengi adab dan akhlak justru dapat membinasakan. Ilmu bisa melahirkan kesombongan, meremehkan yang lain, bahkan merasa diri lebih suci dan tinggi.

Bayangkan seseorang yang tahu banyak tentang agama, tetapi suka mencaci maki, merendahkan orang lain, dan merasa paling benar. Apakah ini cerminan dari ilmu yang bermanfaat? Tidak. Ini adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kebijaksanaan.


Adab: Fondasi dari Ilmu yang Bermanfaat

Adab adalah tata krama, akhlak, rasa hormat, dan ketawadhuan. Orang yang beradab, meski tidak tahu banyak, akan tahu bagaimana bersikap dengan baik, menghargai orang lain, dan tunduk kepada kebenaran.

Dalam tradisi Islam, ulama-ulama besar sejak dahulu selalu mengajarkan murid-murid mereka adab sebelum ilmu. Bahkan sering kali, mereka menghabiskan bertahun-tahun hanya untuk mengajarkan sopan santun, keikhlasan, kesabaran, dan rasa hormat kepada guru dan ilmu.


Manusia: Dimuliakan Karena Adab dan Taat

Adam ‘alaihis salam, meskipun baru diciptakan dan belum memiliki ilmu sebanyak Iblis, justru dimuliakan oleh Allah. Mengapa? Karena Adam tunduk, mau belajar, dan menerima perintah-Nya.
Adam diajarkan oleh Allah nama-nama, dan ia menerimanya dengan penuh kerendahan hati.

Sementara Iblis yang merasa tahu segalanya justru membangkang.


Pilih Menjadi Manusia Beradab, Bukan Iblis Berilmu

Hari ini, ketika orang berlomba-lomba mencari ilmu dan status, mari kita ingat: Ilmu tanpa adab bisa menjadikan manusia sombong dan sesat, seperti Iblis. Tapi ilmu yang dibarengi adab dan akhlak akan mengangkat manusia menjadi mulia.

Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada berilmu. Kalau hanya berilmu, Iblis lebih tinggi ilmunya daripada manusia.

– Abdul Qadir Al-Jailani

Mari kita renungkan, belajar bukan hanya untuk menjadi pintar, tapi untuk menjadi manusia yang benar, rendah hati, dan beradab. Karena itulah yang membuat kita mulia di sisi Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.