Langsung ke konten utama

Indonesia bukanlah bangsa yang bodoh, tapi apa?

Kabar baik datang dari dunia pendidikan Indonesia. Peringkat Indonesia dalam survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 naik. Tapi anehnya, skor justru turun. Wajar, banyak yang bertanya-tanya: apakah ini artinya negara lain makin bodoh, atau kita yang makin pintar?

Kenyataannya, mayoritas negara peserta PISA — sekitar 80% — juga mengalami penurunan skor, terutama akibat pandemi COVID-19. Tapi penurunan skor Indonesia lebih kecil dibanding rata-rata dunia, dan itu patut diapresiasi. Tapi mari kita lihat lebih dalam: kalau Indonesia bukan bodoh, lalu apa?


🧠 1. Bukan Bodoh, Tapi Terjebak Middle Income Trap

Indonesia bukan bangsa yang bodoh. Tapi kita berisiko besar terjebak dalam “middle income trap, yaitu kondisi ketika negara stagnan di level pendapatan menengah dan gagal naik kelas menjadi negara maju. Apa saja ciri-cirinya?

  • Ketimpangan ekonomi melebar antara daerah kota yang besar dan yang kecil.

  • Investasi asing lambat masuk ke dalam negeri, termasuk ke proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).

  • Industri lemah dan minim teknologi: kita masih banyak ekspor bahan mentah (seperti sawit dan batu bara), bukan produk jadi yang bernilai tambah.

  • SDM kurang terampil: gaji tenaga kerja naik, tetapi keterampilan (skill) stagnan.

  • Produktivitas rendah, tetapi biaya hidup dan upah naik.

Artinya? Kalau tidak ada inovasi, industrialisasi, dan perbaikan pendidikan, kita jalan di tempat.

💸 2. Ekonomi Indonesia: Jalan di Tempat?

Meski Indonesia sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah (PDB per kapita sekitar US$ 4000), itu belum cukup. Kita masih bergantung pada jumlah penduduk (populasi) yang besar, bukan pada produktivitas yang tinggi.

Tanpa peningkatan teknologi, pendidikan, dan efisiensi industri, kita hanya akan melihat:

  • Gaji naik, sehingga protes buruh makin sering.

  • Biaya hidup naik, sehingga pengeluaran rumah tangga makin berat.

  • Skill tenaga kerja stagnan, sehingga perusahaan asing malas masuk ke Indonesia.

Akhirnya? Anak muda ingin lari dari Indonesia. Kuliah di luar, kerja di luar, dan enggan kembali.

✊ 3. Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Menunggu pemerintah? Bisa. Tapi bisa juga tidak kelar-kelar. Solusinya adalah bergerak sebagai individu. Beberapa cara yang bisa kita lakukan antara lain:

🧠 Investasi Otak

Tingkatkan pendidikan dan keterampilan. Jangan tunggu disuapi. Kalau ada kesempatan ikut pelatihan, ambil. Bukan hanya peroleh ijazah, tapi juga asah keterampilan (skill) nyata.

💰 Investasi Ekonomi Dalam Negeri

Beli obligasi pemerintah, saham dalam negeri, atau bantu usaha teman. Ini bukan cuma cuan, tapi menumbuhkan ekonomi dalam negeri.

🛒 Beli dan Dorong Produk Dalam Negeri

Dengan belanja lokal, uang berputar di Indonesia, membuka lapangan kerja baru, dan mendorong produksi dalam negeri.

🚀 Wirausaha dan Inovasi

Sekarang eranya side hustle. Teknologi bikin semua orang bisa mulai usaha (bisnis) kecil, bahkan sambil kerja kantoran. Sektor yang masih luas peluangnya antara lain:

  • Kesehatan mental

  • Finansial dan asuransi

  • Pendidikan dan teknologi

  • Agroindustri dan produk olahan


🧭 Kesimpulan: Indonesia Bisa, Tapi Harus Mau

Indonesia bukanlah bangsa yang bodoh. Tapi kita juga belum cukup pintar (pandai) dalam mengelola peluang. Tantangannya bukan cuma soal nilai PISA, tapi soal kesadaran kolektif untuk bangkit.

Negara ini punya potensi luar biasa. Tapi tanpa investasi di otak, ekonomi lokal, produk lokal, dan inovasi, kita akan tetap jalan di tempat, atau bahkan mundur.

Jadi, kalau kamu ingin Indonesia maju, jangan cuma tunggu perubahan dari atas. Jadilah bagian dari gerakan bawah yang mendorong perubahan ke atas.


Referensi

Tontonan Lanjut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur sirih RaiBari Blog

Ketika kita menatap suatu kehebatan, kita sering melihat masa lalu—orang-orang yang dikenang, para penjelajah yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menemukan dunia baru. Dan memang seharusnya demikian. Namun, seringkali yang luput dari ingatan adalah mereka yang membuat semua itu tidak mustahil. Bagaimana dengan kapal yang cukup tangguh untuk mengarungi samudra yang ganas? Siapa para insinyur yang merancangnya? Bagaimana dengan pendarat bulan yang cukup ringan agar para antariksawan bisa kembali pulang dengan selamat? Nama-nama mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah, tapi karya mereka mengguncangkan dunia. Merekalah para insinyur sejati—yang menggabungkan seni dan sains, mengubah imajinasi menjadi realitas, merajut masa depan dari ide liar yang kemudian menjadi batu, logam, plastik, dan sandi (kode). Merekalah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih efisien, dan lebih bermakna. RaiBari Blog adalah persembahan bagi mereka dan bagi Anda yang ingin menjadi seperti mereka. ...

Cara agar tidak membuang-buang sumber daya

Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan kompleks, pengelolaan sumber daya menjadi salah satu kunci keberhasilan suatu bangsa — termasuk Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari hutan tropis yang lebat, tambang mineral yang berharga, hingga lautan yang luas dengan potensi perikanan dan energi. Tetapi kekayaan ini tidak akan berarti apa-apa jika kita justru boros dan sembrono dalam mengelolanya. 1. Mulai dari Diri Sendiri dan dari Hal yang Kecil Efisiensi tidak selalu bicara tentang skala besar. Justru sebaliknya, efisiensi sejati berakar dari kebiasaan individu yang konsisten dan sadar. Contoh sederhananya: Matikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan. Kurangi penggunaan air berlebihan , misalnya saat mencuci atau mandi. Gunakan ulang kertas , botol, dan kantong belanja. Kurangi konsumsi yang tidak perlu , terutama produk-produk sekali pakai. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak sepele, te...

Mengapa orang Indonesia sukses, sedangkan negara Indonesia tidak?

Secara individu, banyak orang Indonesia yang brilian. Dari insinyur teknologi di Silicon Valley hingga pemegang gelar PhD yang mengajar di universitas-universitas Barat, dari CEO multinasional hingga petinggi PBB — orang Indonesia telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa bersaing sejajar dengan yang terbaik di dunia. Namun paradoksnya sangat mencolok: ketika individunya berhasil, negaranya justru tertinggal. Mengapa? Indonesia, seperti halnya India, menghadapi ironi yang kompleks: memiliki individu berkelas dunia, namun kesulitan dalam memajukan negara secara sistemik. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menghadapi kenyataan pahit tentang struktural dan budaya kita. Jika kita ingin Indonesia bangkit, kita harus berani mengajukan pertanyaan yang sulit: tentang diri kita sendiri, sistem kita, dan pola/cara pikir kita.