Pentingnya Kerangka Administrasi Khusus IKN
| Progres pembangunan Ibu Kota Nusantara di Pulau Kalimantan [sumber: jepretan layar dari Google Earth] |
Pemerintah Indonesia telah menetapkan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur dengan nama Ibu Kota Nusantara (IKN). Secara hukum, IKN dirancang memiliki kerangka pemerintahan khusus yang berbeda dari provinsi biasa. Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menetapkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di IKN dilaksanakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, bukan oleh pemerintah daerah konvensional. Artinya, IKN akan dipimpin oleh Kepala Otorita setingkat menteri dan tidak memiliki gubernur maupun DPRD layaknya provinsi lain. Kerangka administrasi khusus ini merupakan amanat undang-undang agar IKN dapat menjalankan fungsi sebagai pusat pemerintahan nasional secara langsung di bawah pemerintah pusat.
Pada dasarnya, IKN direncanakan menjadi daerah setingkat provinsi yang bersifat khusus, terlepas dari struktur Provinsi Kalimantan Timur. Wilayahnya mencakup sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yang diambil alih untuk membentuk entitas baru setara atau setingkat provinsi. Dengan status tersebut, IKN akan memiliki perangkat pemerintahan sendiri dan tidak berada di bawah administrasi Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. Kerangka ini sejalan dengan visi IKN sebagai kota futuristik berstatus ibu kota negara yang netral dan merepresentasikan seluruh Indonesia, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Netralitas Wilayah Ibu Kota Negara
Netralitas wilayah ini berarti IKN tidak menjadi milik atau berada dalam kekuasaan pemerintahan daerah manapun di Indonesia. Hal ini krusial untuk menghindari konflik kepentingan dan tumpang-tindih kewenangan antara pemerintah pusat (melalui Otorita IKN) dan pemerintah daerah setempat. Jika IKN masih berada di bawah Provinsi Kalimantan Timur, dikhawatirkan akan muncul dualisme “dua tuan” yang membingungkan: Otorita IKN di satu sisi dan Pemerintah Provinsi Kaltim di sisi lain. Kondisi tumpang tindih kewenangan semacam ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan benturan birokrasi dalam pengelolaan IKN.
Saat ini saja, proses transisi administrasi IKN menunjukkan pentingnya kejelasan batas kewenangan tersebut. Karena belum terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota secara operasional, kewenangan di wilayah IKN masih banyak dipegang oleh pemerintah kabupaten asal, yakni Pemkab Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara. Otorita IKN pun mengakui masih menunggu dasar hukum pelaksanaan yang jelas untuk mengambil alih kewenangan sepenuhnya. Akibatnya, terjadi situasi di mana berbagai urusan pemerintahan (misalnya pelayanan publik, pengelolaan aset, dan tata ruang) di kawasan IKN masih melibatkan pemerintah daerah lama. Wakil Ketua DPRD PPU bahkan menyatakan pembagian kewenangan antara daerah dan Otorita IKN “belum sepenuhnya tuntas” sehingga “banyak yang perlu diselaraskan, terutama kewenangan yang tumpang tindih”.
Situasi di atas menegaskan bahwa penetapan batas administrasi yang tegas dan status otonomi khusus IKN bukan sekadar formalitas hukum, melainkan fondasi agar pembangunan infrastruktur fisik tidak terganggu konflik kewenangan. IKN harus berdiri netral, tidak berada di bawah bayang-bayang pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun kabupaten setempat. Dengan netralitas ini, IKN dapat berfungsi optimal sebagai milik bersama seluruh bangsa, bukan dianggap “milik” satu daerah tertentu. Prinsip ini sejalan dengan pengalaman negara lain seperti Nigeria yang memindahkan ibu kotanya ke Abuja pada wilayah netral demi simbol persatuan nasional – wilayah Federal Capital Territory Nigeria dipilih dengan tingkat netralitas tinggi dari dominasi etnis manapun. Demikian pula, netralitas IKN akan mencegah gesekan antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola ibu kota baru.
Ibu Kota Nusantara: Ibu Kota Provinsi Kaltim atau Daerah Otonom Baru?
Belakangan ini muncul simpang siur wacana mengenai status IKN dalam kerangka pemerintahan daerah. Ada yang mengusulkan agar IKN “turun kelas” menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Timur saja, alih-alih menjadi daerah otonom khusus tersendiri, dengan dalih status IKN saat ini belum jelas realisasinya. Wacana ini pertama kali dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Saan Mustopa, dan sontak memicu perdebatan politik sengit di tingkat nasional. Usulan menempatkan Kota Nusantara sekadar sebagai pengganti Samarinda (ibu kota Kaltim saat ini) dipandang sebagian kalangan sebagai kemunduran atau “penurunan kelas” dari rencana semula. Bahkan, muncul reaksi keras bahwa jika sampai IKN hanya menjadi ibu kota provinsi, maka proyek pemindahan ibu kota yang menelan biaya besar itu dianggap gagal memenuhi tujuan awalnya.
Di sisi lain, banyak pihak menegaskan bahwa status IKN semestinya dipisahkan atau dimekarkan dari Kalimantan Timur sesuai rencana awal dan landasan hukumnya. Secara analitis, terdapat dua opsi ekstrem yang bisa diambil terkait status administrasi IKN. Opsi 1: IKN dimasukkan ke dalam struktur administratif Kaltim. Konsekuensinya, IKN berubah status menjadi kota/kabupaten biasa di bawah Provinsi Kaltim, sehingga harus ada revisi UU IKN untuk menghapus kekhususan Otorita. Ini berarti IKN dikelola layaknya daerah otonom di Kaltim, lengkap dengan pemerintahan gubernur dan DPRD provinsi – suatu perubahan fundamental dari konsep awal. Opsi 2: IKN tetap pada rencana awal menjadi provinsi baru yang berdiri sendiri. IKN akan memiliki gubernur dan DPRD layaknya Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sehingga Kalimantan Timur kehilangan sebagian wilayahnya. Opsi kedua ini konsisten dengan UU IKN saat ini, namun tentu memerlukan penyesuaian peta politik dan administratif di Kalimantan Timur.
Para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan dampak masing-masing skenario tersebut secara saksama. Namun, yang paling penting dalam jangka pendek adalah kejelasan arah: Jika memang IKN dimaksudkan sebagai daerah khusus setingkat provinsi, maka proses penetapan batas wilayah dan pembentukan struktur pemerintahan definitifnya harus diprioritaskan lebih dahulu. Ketidakpastian status hanya akan menghambat laju pembangunan fisik karena aparatur di lapangan bingung pada komando dan kewenangan. Sejarah juga menunjukkan bahwa dualisme status ibu kota dapat menimbulkan masalah birokrasi. Misalnya, wacana menjadikan IKN sebagai ibu kota provinsi tanpa melepas status Otorita akan membuat IKN “memiliki dua tuan” (Otorita IKN vs Pemprov Kaltim), dan ini jelas bukan resep pemerintahan yang efektif.
Belajar dari Penetapan Ibu Kota Baru di Negara Lain
Pengalaman berbagai negara menunjukkkan bahwa penetapan batas administrasi khusus untuk ibu kota baru biasanya dilakukan sebelum pembangunan infrastruktur fisik secara masif. Berikut beberapa contoh kasus internasional yang relevan:
-
Washington, DC (Amerika Serikat): Ibu kota AS ini sejak awal didirikan (1790) sebagai District of Columbia, sebuah distrik federal yang netral dan tidak masuk dalam wilayah negara bagian manapun. Kongres membentuk distrik federal tersebut dari tanah milik negara bagian Maryland dan Virginia untuk dijadikan pusat pemerintahan nasional. Sampai hari ini, Washington D.C. berdiri terpisah dari 50 negara bagian, berada di bawah yurisdiksi langsung pemerintah federal.
-
Brasília (Brasil): Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke kota baru Brasília pada 1960. Sebelum pembangunan kota dimulai, Brasil membentuk Distrik Federal Brasilia dengan memisahkan area di tengah negara (dari wilayah Negara Bagian Goiás) sebagai teritori khusus ibu kota. Wilayah terpisah ini berada langsung di bawah pemerintah federal Brasil dan tidak termasuk dalam negara bagian mana pun, mirip konsep DKI di Indonesia.
-
Abuja (Nigeria): Ibu kota Nigeria dipindahkan dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991, namun persiapannya dimulai jauh sebelumnya. Pemerintah Nigeria tahun 1976 terlebih dahulu membentuk Federal Capital Territory (FCT) Abuja dengan luas ~7.300 km², yang diambil dari sebagian wilayah beberapa negara bagian (terutama Negara Bagian Niger). FCT ini didesain sebagai wilayah netral secara etnis dan politik, dikelola oleh otoritas federal (dipimpin menteri) tanpa pemerintahan negara bagian lokal. Baru setelah wilayah FCT terbentuk dan kerangka hukum ditetapkan, pembangunan fisik kota Abuja gencar dilakukan.
-
Ciudad de la Paz/Oyala (Gini Khatulistiwa): Dalam merelokasi ibu kotanya dari Malabo (di Pulau Bioko) ke daratan Afrika, Gini Khatulistiwa membangun kota baru bernama Ciudad de la Paz. Sebelum konstruksi penuh dimulai, pemerintah pada 2017 membentuk Provinsi Djibloho sebagai provinsi baru tempat ibu kota akan berdiri. Kota Ciudad de la Paz (dulunya disebut Oyala) ditetapkan menjadi pusat administrasi Provinsi Djibloho tersebut. Langkah ini memastikan ibu kota baru memiliki kerangka wilayah administrasi jelas sejak awal sebagai wilayah provinsi tersendiri, terpisah dari provinsi lainnya.
Contoh-contoh di atas mengajarkan bahwa sebuah ibu kota baru sebaiknya memiliki kepastian status wilayah sejak awal pembangunan. Washington D.C., Brasília, Abuja, maupun Ciudad de la Paz menunjukkan pola yang sama: pemerintah pusat memisahkan dan menetapkan sebuah wilayah khusus (federal district, federal territory, atau provinsi baru) terlebih dahulu, barulah infrastruktur fisik dibangun di dalamnya. Tujuannya adalah menjamin bahwa kelak tidak ada perselisihan kewenangan dengan pemerintah daerah manapun, dan ibu kota dapat berkembang sesuai rencana nasional yang telah ditetapkan.
Menata Batas Administrasi IKN Sebelum Infrastruktur
| Peta tata guna lahan Ibu Kota Nusantara [sumber: Kementerian PUPR] |
Berdasarkan paparan di atas, argumen “batas administrasi Ibu Kota Nusantara dulu, baru bangun infrastruktur fisiknya” sangat beralasan. Pembangunan infrastruktur fisik skala besar di IKN – jalan, gedung pemerintahan, permukiman, dan fasilitas publik – harus ditopang kepastian hukum dan tata kelola administrasi yang kokoh. Tanpa status wilayah yang jelas, pembangunan fisik berisiko terhambat oleh sengketa birokrasi: misalnya, siapa yang bertanggung jawab atas perizinan bangunan, siapa yang menyediakan layanan dasar, hingga siapa yang memungut pajak daerah di kawasan tersebut.
Dengan menetapkan IKN sebagai daerah otonom khusus setingkat provinsi sebelum melanjutkan pembangunan, pemerintah memastikan satu komando dalam penataan IKN. Tidak ada lagi kerancuan apakah Otorita IKN atau pemerintah daerah lama yang berwenang, karena seluruh wilayah IKN akan secara definitif berada di bawah Otorita (atau pemerintahan khusus IKN) sesuai peraturan perundangan. Langkah ini juga akan menenangkan investor dan stakeholder yang terlibat pembangunan, karena kepastian hukum kepemilikan lahan dan regulasi di IKN tidak tergantung pada dua pemerintahan yang berbeda.
Sebaliknya, apabila pembangunan fisik digeber tanpa menunggu tuntasnya penetapan administrasi, konsekuensi jangka panjangnya bisa kompleks. Kita bisa membayangkan potensi sengketa aset antara Pemprov Kalimantan Timur dengan Otorita IKN, tarik ulur pembiayaan infrastruktur antar APBN dan APBD, hingga kebingungan warga setempat terkait status kependudukan dan layanan publik mereka. Hal-hal ini sejatinya mulai terlihat, misalnya ketika anggaran Pemkab PPU masih memasukkan belanja untuk kawasan yang sudah menjadi bagian IKN karena regulasi pemindahan kewenangan belum lengkap. Tentu situasi seperti ini tidak ideal untuk kelangsungan proyek strategis nasional sebesar IKN.
Sebagai kesimpulan, demi suksesnya pembangunan Ibu Kota Nusantara, pemerintah perlu mengutamakan penyelesaian aspek administrasi dan kewilayahan terlebih dahulu. Segala payung hukum turunan UU IKN – seperti Keppres penegasan pemindahan wilayah, aturan penyelenggaraan pemerintahan Otorita, hingga koordinat (letak astronomis) batas detail IKN – harus segera dituntaskan dan disosialisasikan. Dengan IKN yang berdiri di atas landasan administrasi kokoh dan netral, barulah pembangunan infrastruktur fisik dapat berjalan lancar sesuai rencana, tanpa dihantui persoalan kewenangan di kemudian hari. IKN sebagai ibu kota baru Indonesia diharapkan akan mencontoh keberhasilan Brasilia atau Abuja, bukan mengulang kerumitan akibat ketidakjelasan status. Mari dahulukan penataan batas administrasi IKN, lalu percepat pembangunan fisiknya dengan penuh kepastian.
Komentar
Posting Komentar